Pages

Thursday, August 6, 2020

Pandemi: Kekebalan Guru Terhadap Gelombang Dirumahkan dan PHK.


                Pademi Covid-19 sangat berpengaruh terhadap ekonomi dan dunia kerja tentunya. Banyak buruh yang dirumahkan, bahkan di-PHK! Bagi profesi guru, dua skema status hubungan kerja tadi tidak dapat menerpa guru. Karena sesungguhnya profesi guru adalah profesi yang cukup rumit dipahami di Indonesia dalam hal hubungan kerja. Maka dari itu pula, pemerintah tidak pernah tahu berapa jumlah pasti guru di Indonesia.

                Sebenarnya ada berapa jenis sih, guru di Indonesia? Mungkin pertanyaan itu tidak menarik bagi sebagian besar orang, karena cukup jelas bahwa guru itu hanya ada dua; PNS dan Non-PNS. Eits, tunggu dulu, ada beberapa jenis guru, dan cukup rumit.

                Yang pertama adalah Guru PNS. Guru ini berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (iya tau!), digaji oleh negara dan memiliki karir kepangkataan, serta berbagai privilege. Untuk jenjang karir, banyak yang mengatakan bahwa tidak ada; Guru, kemudian menjadi Kepala Sekolah, lalu Pengawas Sekolah, diakhiri dengan pensiun.

                Jenis kedua adalah Non-PNS, jenis ini cukup rumit, karena kenyataannya ada banyak lagi jenis turunan dari Guru Non-PNS. Mari kita coba uraikan;

1.       Guru Honorer Daerah/Kabupaten/Kota. Mereka digaji menggunakan APBD dan terdata oleh pemerintah.

2.       Guru Tetap Yayasan. Mereka adalah guru di sekolah swasta dan berstatus karyawan tetap. Gaji mereka berasal dari yayasan yang menaungi sekolah tempat mereka bekerja. Mereka juga terdata oleh pemerintah.

3.       Guru Honorer Sekolah. Sebenarnya guru jenis ini ilegal di sekolah negeri, dan memang hanya ada di sekolah negeri. Ilegal karena pemerintah melarang sekolah merekrut guru. Pihak yang diperbolehkan merekrut hanyalah pemerintah, bukan pihak sekolah! Jelas, guru jenis ini tidak terdata oleh perintah. Gaji mereka berasal dari dana operasional sekolah dan sumbangan pihak lain seperti orang tua siswa.

4.       Guru Tidak Tetap Yayasan. Guru jenis ini tidak berstatus karyawan tetap dan umumnya tidak terikat kontrak, kalau pun ada, sungguh sangat fleksibel.

5.       Guru Relawan. Istilah ini saya buat sendiri untuk memposisikan guru-guru yang mengajar karena suatu program kemanusiaan yang umumnya dibuat oleh pemerintah, LSM, atau mereka yang sukarela menjadi guru tanpa ada uang sepeser pun yang diterima.

Jadi jika kita jumlahkan semua jenis guru, setidaknya ada enam jenis berdasarkan kenyataan dilapangan/sekolah.

Pandemi Covid-19 turut bedampak bagi para guru sebagai profesi pekerjaan. Miris bagi Guru Honorer Sekolah dan Guru Tidak Tetap Yayasan, mereka tidak mengenal istilah dirumahkan atau pun diberhentikan. Karena sangat jamak kontrak mereka dengan pihak sekolah yang menyepakati bahwa gaji mereka dihitung sesuai banyaknya jam mengajar.

Kebijakan meliburkan sekolah artinya tidak ada jam mengajar bagi dua jenis guru tadi, sudah tentu tidak ada gaji bagi mereka. Memang, ada pula kontrak yang menyatakan bahwa guru yang jam mengajarnya diliburkan akibat kebijakan sekolah maka akan mendapat 50% gaji dari akibat kebijakan sekolah tadi.

Saya ambil contoh seorang kawan yang mengajar di Sekolah A. Kontrak pejanjiannya dengan sekolah adalah Rp.5.000,00 per jam mengajar. Jika sekolah diliburkan, maka dia mendapat hanya Rp.2.500,00 per jam mengajar yang diliburkan.

Contoh berikutnya, seorang kawan mengajar di Sekolah B. Perjanjian dengan pihak sekolah adalah Rp.8.000 per jam mengajar. Jika sekolah diliburkan atas sebab apa pun, maka tidak ada fulus.

Menghitung pendapatan kedua jenis guru tadi tidaklah serumit menjawab bagaimana mereka bisa bertahan hidup. Hitung saja rupiah yang mereka per jam mengajar dengan mengkalikan jumlah jam mengajar dalam sebulan. Sebagai catatan, setiap mata pelajaran memiliki jumlah jam pelajaran yang berbeda, namun umumnya satu mata pelajaran memiliki jumlah jam pelajaran sebanyak 2 jam dalam sekali pertemuan per kelas, dan dalam seminggu terdapat dua kali pertemuan.

Jika kita sekarang menghitungnya, tentu kita dapat mengerti kenapa lebih banyak guru perempuan ketimbang laki-laki. Karena suaminya tidak bekerja sebagai guru!

“Belajar di Rumah, itu bukan berarti libur sekolah!” begitu kira-kira yang disampaikan pemerintah. Tentu kita tidak seperti Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang dengan lugu tekaget-kaget karena baru menyadari bahwa masih ada wilayah di Indonesia yang belum memiliki akses terhadap listrik, apalagi intenet! Saya curiga, Nadiem Makariem bisa pura-pura pingsan, jika tahu bahwa ada operator sekolah yang meja kerjanya tepat berada di kandang babi, seperti yang pernah saya alami di pulau Timor, NTT.

So, sudah pasti tidak semua sekolah bisa menjalankan program Belajar di Rumah. Bagi boarding school seperti pesantren modern, tak perlu repot, cukup jalankan saja diniyah, dan pelatihan penerapan protokol pandemi bagi santri piket.  Semoga guru fisika mereka juga bisa mengajarkan fiqih.

Saya sendiri bekerja sebagai guru di sekolah swasta dengan skema gaji Rp.7.500,00 per jam mengajar. Tentunya dengan kesepakatan, tak ada jam mengajar = tak ada fulus. Tapi saya masih mampu bertahan, karena masih tinggal dengan orang tua. Saya juga mencoba peruntungan menulis artikel di Mojok, dan seorang kawan saat ini getol menyarankan saya untuk berpartisipasi pada judi online, “Investasi togel aja, modal seribu dapat tiga juta!”


* Tulisan ini pernah ditolak oleh mojok.co dan detik.com

No comments:

Post a Comment