Pages

Friday, August 14, 2020

Membahagiakan Ibu Sebisa Mungkin.

"Sore ini aku pergi meninggalkan rumah mencari angin segar dan segelas kopi. Aku pergi dengan lump in my throat." (14/08/2020)


Dua hari yang lalu, seorang seniorku ketika masih kuliah menelepon, "Go, ada kerjaan jadi jurnalis di Mahulu, mau gak?" ucapnya membuka pembicaraan.

Jujur, aku terkejut dan senang. Karena saat ini aku memang sedang mencoba beralih profesi.

"Berapa gajinya Bang?" tanyaku langsung tanpa basa-basi.
"Empat juta Go, gimana?" jawabnya.

Sungguh, ini adalah tawaran menarik, mengingat saat ini gajiku sebagai seorang guru di dua sekolah swasta hanyalah Rp1,2 juta. Tawaran gaji sebesar Rp4 juta sungguh terasa besar bagiku.

"Aku tertarik Bang, sangat tertarik. Tapi aku ngomong dulu sama ibuku ya," jawabku dengan bahagia, dan sedikit bimbang di hati.

Dia adalah senior yang baik, Bang Mukon. Tidak banyak senior seperti dia, selalu memperhatikan kondisi junior-juniornya di kampus dulu. Dia akan selalu berusaha untuk membantu para juniornya sesuai kemampuannya.


"Menjadi orang baik bukan hanya soal kemampuan, tetapi soal kepedulian."


Hari berikutnya, aku menemui seniorku itu, di kantor media yang dia kelola. Kami banyak berdiskusi tentang jurnalistik, juga menjelaskan bagaimana cara kerja seorang wartawan.

Datang kemudian seseorang ke kantor, ikut bergabung bersama kami, dia adalah pemimpin redaksi, Bang Fel. Dia menceritakan segala sesuatu yang akan dihadapi jika bekerja sebagai jurnalis.

Kami bertiga berdiskusi hingga larut malam. Aku menyimpulkan bahwa pekerjaan ini sangat menjanjikan. Sangat bersyukur di usia 31 tahun ini, masih ada orang yang mau memberikan pekerjaan padaku yang tidak pernah memiliki pengalaman sebagai jurnalis.



Aku mencintai kedua orang tuaku, terlebih kepada ibu.
Ibuku merasa berat melepaskanku, pergi bekerja ke Kabupaten Mahulu, kabupaten yang masih sangat muda di Provinsi Kalimantan Timur. Ini bukan pertama kalinya ketika aku meminta restu ketika memilih tempat pekerjaan.

Jika ada orang yang sangat kucintai, dia adalah ibuku.

Jika ada orang yang terlambat mencintai, itulah aku.



Waktu yang membuangku.
Aku menyelesaikan studi sarjana dalam waktu 7,5 tahun. Angka yang wajar bagi mahasiswa yang aktif di organisasi kampus. Aku lulus tahun 2014, dan wisuda di awal tahun 2015. Iya, waktu yang cukup lama. Selama kuliah, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kampus. Tidak hanya hingga larut malam, bahkan aku lebih sering tidur di kampus.

Beberapa bulan setelah lulus aku mengikuti program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Program ini diselenggarakan oleh Kemendikbud, dengan memilih putra putri terbaik bangsa di berbagai daerah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan pemerataan pendidikan.

Peserta SM3T dikirim ke daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T). Penempatan lokasi tujuan pun harus berbeda dengan lokasi peserta ketika mendaftar. Tujuannya agar terjadi kebhinekaan, dan saling memahami kebudayaan Nusantara. Saat itu aku dikirim ke Kabupaten Timor Tengah Utara.

Setelah selesai mengabdi di daerah 3T tahun 2016, aku mendapat beasiswa penuh untuk mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG) berasrama selama setahun. Aku menyelesaikan program ini dan berhak menyandang gelar tambahan sebagai Guru Profesional (Gr.).

Akhir tahun 2017, aku adalah seorang pengangguran profesional bergelar "S.Pd., Gr." Apa targetku? Tentu mengikuti tes CPNS formasi guru.

Sepulang dari asrama, sebagai pengangguran, aku memiliki banyak waktu di rumah. Betapa aku terkejut melihat rambut ibuku sudah penuh dengan uban. Aku tersadar, bahwa sebenarnya aku jarang melihat ibuku di rumah. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk melihat uban yang semakin menumbuh di kepala ibuku.

Tahun 2018 aku mendaftar tes CPNS, kembali ke Nusa Tenggara Timur adalah keinginanku. Namun ibuku lebih menginginkan aku mengambil formasi di Kalimantan Utara.

Ibuku masih memiliki pemikiran bahwa putra daerah akan lebih diutamakan untuk diterima sebagai CPNS. Walau pemikiran itu sudah usang dan tidak berlaku. Aku tetap menuruti ibuku. Aku sudah berusaha keras memberikan penjelasan.

Hasilnya, aku tidak lulus. Aku berada di peringkat keempat pada formasi yang kupilih. Kedua orang tuaku membesarkan hatiku dengan berujar, "Tidak apa, belum rezeki."

Sulit untuk menggambarkan perasaanku saat itu. Aku pun menenangkan diriku, ini adalah usaha pertama, mungkin tes berikutnya akan berhasil.

Aku akan selalu menuruti permintaan ibuku. Mengingat, selama kuliah aku bukanlah anak yang nakal, hanya saja aku adalah anak yang bebal. Sering kali aku tidak mendengar ucapan dan permintaan ibuku.

Tahun 2019, Bang Kibok, senior kampus menawariku pekerjaan. Membantunya untuk mengawasi proyek konstruksi. Aku menerima pekerjaan itu dengan senang hati. Mempelajari hal baru dan melihat perjuangan buruh bangunan bekerja.

Enam bulan kemudian, di penghujung masa proyek konstruksi, seorang senior menawariku pekerjaan. Dia adalah Bang Base, senior di organisasi dan juga jurusan kuliah dulu. Menawarkan pekerjaan sebagai guru di sekolah swasta yang dia kelola. Gajinya jauh lebih sedikit dibandingkan gaji sebagai pengawas proyek konstruksi, bahkan lebih sedikit dari pendapatan buruh kasar.

Dengan perasaan berat dan tidak enak hati, aku menemui Bang Kibok dan mengundurkan diri dari proyek konstruksi. Memilih menjadi guru swasta dengan gaji yang lebih rendah. Aku ingin menjadi guru, maka aku harus mencoba.

Gaji berubah drastis, dari pengawas proyek sebesar Rp3 juta/bulan, menjadi Rp1,2 juta/bulan sebagai seorang guru di dua sekolah swasta sekaligus. Lokasi sekolah pun cukup jauh dari tempat tinggalku. Dalam kurun waktu 3 hari, aku harus kembali mengisi penuh tanki bahan bakar sepeda motorku. Aku cukup bahagia, dan aku bertahan, karena ini adalah keinginanku.

Awal tahun 2020 aku kembali mengikuti tes CPNS. Aku ingin memilih Kabupaten Kutai Kartanegara, namun ibuku menyarankan untuk memilih Kabupaten Berau. Kali ini aku tidak bersusah payah menjelaskan kepada ibuku, aku hanya ingin menuruti permintaannya.

Aku tidak masuk peringkat tiga besar pada formasi CPNS Kabupaten Berau. Mungkin masih bukan rezeki bagiku. Aku kembali mengajar di sekolah swasta.

Pandemi Covid-19 membuatku sangat terpukul. Sejak awal virus ini melanda Indonesia, awal tahun ajaran sekolah ditunda. Selama itulah aku tidak mendapat gaji. Karena gajiku dihitung berdasarkan jam mengajar. Bahkan hingga hari ini (14/08/2020), aku belum menerima gaji.



Sudah terlambat?
Aku ingin beralih profesi. Gaji Rp1,2 juta hanya cukup untuk kebutuhan hidupku seorang diri, tidak tersisa! Bagaimana jika aku berkeluarga, apakah cukup? Itulah alasan mengapa aku belum juga menikah. Aku tidak pernah ingin menyusahkan orang lain. Beralih profesi mencari gaji yang lebih baik, aku ingin segera berkeluarga, karena kedua orang tuaku sudah tua.

Tidak ada yang bisa kuberikan kepada ibuku untuk membahagiakannya. Menuruti segala ucapan dan permintaannya adalah usahaku untuk membahagiakannya. Hanya itu kemampuanku saat ini. Hingga detik ini, aku bahkan belum mampu untuk sekadar mentraktirnya di rumah makan.



Lump in my throat.
Pagi, setelah semalam di kantor media berdiskusi tentang tawaran menjadi jurnalis. Ibuku menyatakan keberatannya jika aku bekerja sebagai jurnalis di Mahulu.

Hingga sore hari, tak hanya membahas pekerjaan di Mahulu, kami pun membahas kondisi pekerjaan saat ini. Aku mengatakan bahwa aku ingin gaji yang lebih baik, agar aku bisa segera berkeluarga.

"Terserah aja mana yang baik bagimu," kata ibuku, "tapi kalau bisa cari aja yang lebih dekat. Gajinya juga gak terlalu besar, paling kamu cuma bisa nabung dua juta."

Jangan kira aku tidak menjelaskan apa saja potensi keuntungan wartawan di daerah, aku sudah jelaskan. "Kalau kamu jauh-jauh cuma bisa nabung dua juta, kerja di sini juga kamu bisa nabung segitu," kata ibu.

"Kalau gitu bantu aku cari pekerjaan di sini," balasku.
"Susah juga, teman-teman mama sudah tua, gak ada yang punya jaringan lowongan kerja," jawab ibuku.

Aku hanya berdiam diri, tak lagi bersuara. Dalam hati, aku berdoa, "Ya Allah, bahagiakanlah ibuku, dan permudahlah hidupku."

Aku mengambil kunci sepeda motor. pergi meninggalkan rumah mencari angin segar dan segelas kopi. Aku pergi dengan lump in my throat.

Tak lama setelah sampai di kantin kampus, tempat biasa aku meminum kopi, Bang Mukon menghubungi agar aku ke kantor media. Aku langsung meneleponnya, mengatakan bahwa aku tidak bisa mengambil pekerjaan yang ditawarkan.

Berat dan sedih, namun itulah pilihanku. Aku hanya ingin membahagiakan ibu sebisaku. 

Aku sangat berterima kasih kepada orang-orang yang selama ini menawariku pekerjaan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dengan caranya.

Aku tidak pernah menyalahkan orang-orang yang tidak menawari pekerjaan. Karena memang begitulah seharusnya ihwal pekerjaan.

Aku juga tidak pernah kecewa kepada orang-orang yang mengomentari pekerjaanku. Berkomentar tentang gajiku yang rendah, namun juga tidak menawari pekerjaan.

Aku juga selalu berintrospeksi. Apakah selama ini aku mengecewakan orang lain? Apakah selama ini aku orang yang terlalu keras kepala? Apakah aku orang yang tidak layak bekerja? Aku selalu memikirkan diriku, juga memikirkan orang lain.

Dalam situasi seperti ini, aku tidak muanfik. Aku berharap kepada kalian; Aku hanya berharap kalian selalu mendoakan segala kebaikan bagiku, juga mendoakan kebahagiaan ibuku.

Karena sebaik-baiknya kepedulian dan pemberian, ialah saling mendoakan. Dengan saling mendoakan, kita menjadi orang yang memiliki kemampuan.

No comments:

Post a Comment